Beranda | Artikel
Karakteristik Lembaga Keuangan (Bank) Syariat (Sebuah Wacana)
Sabtu, 12 Desember 2009

KARAKTERISTIK LEMBAGA KEUANGAN (BANK) SYARI’AT (SEBUAH WACANA)

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa berkembangnya bank konvensional ribawi di negeri-negeri Islam seiring dengan kedatangan bangsa kolonial (penjajah). Kesamaan masa pendudukan kolonial dengan berdirinya bank-bank ini di masyarakat Islam membenarkan pendapat jika bank-bank tersebut dibangun dengan sengaja untuk membantu penjajah dalam menguasai perekonomian. Sisi lainnya, juga menanamkan pada masyarakat, adanya ketidaksesuaian antara yang mereka yakini tentang haramnya riba dengan kenyataan aktifitas masyarakat yang tidak lepas dari riba. Demikian juga, bank-bank ribawi dibangun untuk menancapkan benih-benih keraguan tentang syariat Islam pada masa kini.

Namun Allah telah menjamin kebenaran syariat-Nya dan memudahkan manusia untuk berfikir ulang tentang bahaya riba yang telah menimpa umat manusia dewasa ini. Hingga akhirnya banyak orang yang berfikir untuk membangun bank-bank berdasarkan syariat Islam. Tentu saja tantangan mewujudkan bank dengan sistem syariat ini cukup berat, karena harus meyakinkan masyarakat bahwa bank yang sesuai syariat itu dapat menjadi solusi pengganti bank-bank ribawi. Oleh karena itu, perbankan syariat harus mampu menunaikan hal-hal berikut ini.

  1. Bank syariat harus mampu menunaikan semua fungsi yang telah dilakukan bank-bank ribawi, seperti: pembiayaan (Financing), memperlancar dan mempermudah dalam urusan muamalat, menarik dana-dana tabungan masyarakat, kliring dan transfer, masalah moneter dan sejenisnya dari praktek-praktek perbankan lainnya.
  2. Bank syariat harus komitmen dengan hukum-hukum syariat disertai kemampuan menjawab perkembangan perekonomian dalam semua aspeknya.
  3. Bank syariat harus komitmen dengan asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar yang sesuai dengan ideologi dan kaidah syariat Islam, dan jangan hanya menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum yang dibangun dengan dasar mu’amalah ribawiyah.

Tiga perkara ini harus ditunaikan oleh bank syariat agar menerapkannya seiring perkembangan perekonomian dengan semua fenomena dan problema kontemporernya. Dengan demikian, bank syariat harus memiliki karakteristik yang membedakannya dengan bank-bank ribawi. Di antaranya sebagai berikut:

  1. Lembaga keuangan (perbankan) syariat harus bersih dari semua bentuk riba dan bersih dari semua muamalah yang dilarang syariat. Inilah yang harus menjadi syiar utamanya. Jika tidak demikian, maka suatu lembaga keuangan tidak boleh dinamakan sebagai lembaga keuangan syariat.
  2. Gharib al-Gamal mengatakan, karekteristik bersih dari riba dalam muamalat perbankan syariat, adalah karekteristik utamanya dan menjadikan keberadaannya seiring dengan tatanan yang benar untuk masyarakat Islami. (Lembaga keuangan syariat) harus mewarnai seluruh aktifitasnya dengan ruh yang kokoh, dan motivasi akidah yang menjadikan para praktisinya selalu merasa bahwa aktifitas yang mereka geluti tidak sekedar bertujuan mendapatkan keuntungan semata, namun perlu ditambahkan bahwa itu merupakan salah satu cara berjihad dalam mengemban beban risalah, dan persiapan menyelamatkan umat dari praktek-praktek yang menyelisihi norma dasar-dasar Islam. Berlandaskan itu semua, hendaklah para praktisi merasa jika aktifitasnya itu merupakan ibadah dan ketakwaan yang akan mendapatkan pahala dari Allah bersama balasan materi duniawi yang didapatkannya.[1]
  3. Mengarahkan seluruh kemampuan pada pertambahan (at-Tanmiyah) dengan jalan itstitsmâr (pengembangan modal), dan tidak dengan jalan hutang (al-Qardh) yang memberi keuntungan. Lembaga keuangan syariat harus dapat mengelola hartanya dengan salah satu dari dua hal berikut, yang telah diakui syariat.
  4. Investasi pengembangan modal langsung (al-Its-titsmar al-Mubâsyir), yakni dalam pengertian pihak Bank melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan dalam proyek-proyek riil yang menguntungkan.
  5. Investasi modal dengan musyarakah, dalam pengertian pihak Bank menanam saham dalam modal sektor riil yang menjadikan bank syariat tersebut sebagai Syarîk (sekutu) dalam kepemilikan proyek tersebut, dan bank berperan dalam administrasi, manajemen dan pengawasannya, serta menjadi syarîk juga terhadap semua yang dihasilkan proyek tersebut, baik berupa keuntungan atau kerugian dalam bentuk prosentase yang telah disepakati di antara para syarîk.

Karena bank syariat dibangun berlandaskan asas dan prinsip Islam, maka seluruh aktifitasnya tunduk kepada standar halal dan haram yang telah ditentukan syariat Islam. Hal ini menuntut agar lembaga keuangan berbuat beberapa hal berikut.

  1. Mengarahkan pengembangan modalnya (investasi) dan memusatkannya pada produk-produk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan umum kaum muslimin.
  2. Menjaga agar produksi jangan sampai terjerumus dalam lingkaran haram.
  3. Menjaga setiap tahapan-tahapan produknya tetap berada dalam lingkaran halal.
  4. Menjaga setiap sebab produknya (sistem operasi dan sejenisnya) bersesuaian dalam lingkaran halal.
  5. Memutuskan dasar kebutuhan masyarakat dan maslahat umum sebelum melihat kepada profit yang akan diperoleh individunya.[2]
  6. Mengikat pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Lembaga keuangan syariat tidak hanya sekedar mengikat pengembanagn ekonomi dan pertumbuhan sosial semata, namun harus menganggap pertumbuhan sosial masyarakat sebagai asas, sehingga pengembangan ekonomi tidak memberikan hasilnya tanpa memperhatikan hal ini. Dengan demikian bank syariat harus menutupi dua sisi ini dan komitmen terhadap perbaikan masyarakat dan keadilannya. Bank syariat juga tidak mengarah seperti  halnya bank ribawi yang mengarahkan kepada proyek-proyek yang memiliki prospek dan menjanjikan keuntungan yang lebih banyak tanpa memperhatikan pertumbuhan sosial kemasyarakatan. Kekurangan itu menimbulkan bahaya di tengah masyarakat.
  7. Mengumpulkan harta yang “menganggur” dan menyerahkannya kepada aktivitas its-titsmâr dan pengelolaan dengan target pembiayaan (tamwîl) proyek-proyek perdagangan, industri dan pertanian, karena kaum muslimin yang tidak ingin menyimpan hartanya di bank-bank ribawi berharap adanya bank syariat untuk menyimpan harta mereka disana.
  8. Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran perdagangan langsung (Harakah at-Tabâdul at-Tijâri al-Mubasyir) di seluruh dunia Islam, dan bekerja sama dalam bidang tersebut dengan seluruh lembaga keuangan syariat dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan sesempurna mungkin.
  9. Menghidupkan tatanan zakat dengan membuat lembaga zakat dalam bank tersendiri yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut. Lalu membuat lembaga keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat tersebut. Karena lembaga keuangan syariat tunduk kepada pengelolaan harta untuk muamalat Islami dan hak-hak wajib pada harta-harta tersebut.
  10. Membangun baitul mal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk itu yang dikelola langsung oleh lembaga keuangan tersebut.
  11. Menanamkan kaidah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan kerugian, dan menjauhkan unsur ihtikâr (penimbunan barang agar menaikkan harga) dan meratakan kemaslahatan pada sebanyak mungkin jumlah kaum muslimin, setelah sebelumnya kemaslahatan tersebut hanya menjadi milik para pemilik harta yang besar yang tidak peduli dari mana mendapatkannya

Demikianlah, beberapa karekteristik lembaga keuangan syariat, yang diharapkan menjadi solusi pengganti bank-bank ribawi. Semoga harapan ini dapat diwujudkan dalam kenyataan. Wabillahi at-Taufiq.

(Makalah ini diadaptasi dari kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Riyadh, KSA, cetakan kedua, 1414 H, halaman 91-95)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Masharif wa Buyut at-Tamwîl al-Islamiyah, Dr. Gharib al-Jamal, hlm. 47.
[2] Kitab Mi’at Su`al wa Mi’at Jawâb Haula al-Bunuk al-Islamiyah, hlm. 45-46.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2595-karakteristik-lembaga-keuangan-bank-syariat-sebuah-wacana.html